Van Lith dan Muntilan "Bethlehem van Java"

Senin, 30 Juni 2008

MUNTILAN, sebuah kota kecamatan di Jawa Tengah, terletak pada KM 25 dari Yogyakarta ke Magelang, menorehkan kisah pembenihan dan pembentukan elite Katolik di Jawa. Selain nama Pastor R Sandjaja Pr yang terbunuh tahun 1948, dikenang manis pula nama Pastor FGJ Van Lith SJ (1863-1926). Mereka dimakamkan di lokasi yang sama, Pemakaman Muntilan, salah satu tempat ziarah umat Katolik di Jawa.

Pada akhir abad ke-19, 1897, Van Lith mulai berkarya di Muntilan, yang dia sebut sebagai "Bethlehem van Java". Ia menetap di Desa Semampir di pinggir Kali Lamat. Di desa kecil itu ia mendirikan sebuah sekolah desa dan sebuah bangunan gereja yang sederhana. Gereja kecil dan sekolah desa itu kemudian berkembang menjadi satu kompleks gedung-gedung yang di tahun 1911 dinamai St Franciscus Xaverius College Muntilan.

Salah satu sekolah yang kemudian dikenal sebagai trade mark adalah sekolah guru. Sekolah guru untuk penduduk pribumi Jawa tersebut didirikan tahun 1906, dan bisa dimasuki oleh anak Jawa dari mana pun, dari agama apa pun. Sengaja Van Lith menempatkan pendidikan sebagai unsur terpenting dalam kaderisasi masyarakat Jawa. Lewat pendidikan sekolah di Muntilan dihasilkan elite politik Katolik seperti Kasimo, Frans Seda, dan sejumlah tokoh lain.

Meskipun akhirnya sekolah ini menjadi inti kaderisasi elite politisi Katolik Indonesia, tidak kalah penting kecintaan Van Lith pada bumi dan manusia Jawa. "Aku hidup di tengah-tengah orang Jawa; berperasaan dan berpikir seperti mereka," tulis Romo Van Lith.

Tujuan pendidikan yang diselenggarakannya adalah meningkatkan kualitas anak-anak Jawa sehingga mereka mendapatkan kedudukan yang baik dalam masyarakat.

Sekolah guru berbahasa Belanda itu (Kweekschool), yang didirikan tahun 1906, mula-mula mempunyai murid 107 orang, 32 di antaranya bukan Katolik. Di tahun 1911 dibuka secara resmi seminari (sekolah calon pastor) pertama di Indonesia karena sebagian di antara lulusannya ingin jadi pastor. Satu di antaranya Mgr A Soegijapranata SJ (1896- 1963), yang kemudian Uskup Keuskupan Agung Semarang-uskup pertama pribumi.

Tahun 1948, kompleks sekolah ini dibakar. Tetapi, dari sana sudah dihasilkan elite Katolik Indonesia. Berbeda dengan bangunan sekolah Mendut yang menghasilkan elite perempuan yang tak berbekas sama sekali, kompleks sekolah Muntilan masih punya petilasan. Selain gereja Paroki Muntilan yang tahun ini genap 110 tahun, di sana masih ada sekolah berasrama, SMU Van Lith.

NAMA Van Lith dikenang banyak orang. Mgr Soegijapranata, salah seorang muridnya, mencatat di tahun 1950, "adalah seorang imam Belanda yang oleh orang Jawa, baik Katolik maupun bukan Katolik sampai hari ini dihormati sebagai Bapak Orang Jawa...." Ia pun diusulkan sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat) Partai Sarikat Islam, pimpinan teman dekat Van Lith, KH Agus Salim. Memang ia tidak pernah jadi anggota Dewan Rakyat. Tetapi, atas kegiatannya di bidang pendidikan ditunjuk menjadi anggota Dewan Pendidikan Hindia Belanda dan anggota Komisi Peninjauan Kembali Ketatanegaraan Hindia Belanda.

Di kedua lembaga itu Pater Van Lith memperjuangkan kepentingan pribumi. Belanda marah. Maka, ketika mau kembali ke Indonesia setelah berobat di Belanda, dia dihalang-halangi kembali. Ia dicap sebagai "orang yang terlampau giat, kurang berhati-hati, dan beberapa kali ucapannya membuat orang tersinggung". Namun, akhirnya Van Lith boleh kembali ke Indonesia, 9 Juni 1926, meninggal di Muntilan dan dimakamkan di sana dengan adat Jawa.

Kepeloporan Romo Van Lith dalam proses penyadaran bangsa Indonesia atas hak-hak mereka diakui dan dihargai Gereja. Ia dicatat sebagai peletak dasar misi di Jawa. Bumi Muntilan dicatat memberi sumbangan besar. Meskipun kompleks bangunan asli sudah terbakar, "semangat Muntilan" tetap berkobar dalam banyak hati rasul awam dan rohaniwan.

Kemudian, dalam peringatan 100 tahun pastor-pastor Jesuit berkarya di Indonesia (1959), diabadikan kebanggaan: "Sesungguhnyalah! Mulailah Muntilan!"

Paus Yohanes Paulus II, dalam pidatonya di Unika Jakarta, 12 Oktober 1989, menyatakan, "Dalam Gereja Katolik di Indonesia kaum intelektual sejak semula memainkan peranan yang mengagumkam. Di banyak daerah, tulang punggung perkembangan umat adalah guru-guru. Umat Katolik melibatkan diri secara aktif dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia."

Paus Yohanes Paulus II, saat berpidato di Yogyakarta tanggal 10 Oktober 1989, mengungkapkan isi hatinya. Ia melukiskan hari itu berada di jantung Pulau Jawa untuk secara khusus mengenang mereka yang telah meletakkan dasar bagi umat-Nya, yaitu Romo Van Lith SJ dan dua muridnya, Mgr Soegijapranata dan Bapak IJ Kasimo.

(ST SULARTO, dari berbagai sumber)>kompas kcm, Sabtu, 27 Desember 2003

0 Uneg-uneg: